“Pagi, Mah!” sapa Zicka sambil mengambil selai kacang kesukaannya lalu mengolesinya di atas sepotong roti.
“Ehm.. enak banget rotinya, Mah.“ ucapnya sambil memakan potongan roti itu dengan lahap.
“Aduh anak mama, makannya kok seperti itu? Ingat kamu itu anak perempuan, sopanlah sedikit.” Mama komentar karena melihat Zicka yang mulutnya penuh dengan potongan roti.
“Mama, sekarang kan sudah jam setengah tujuh jadi Zicka takut terlambat ke sekolah. Nah, biar Zicka tidak terlambat ke sekolahnya, jadi Zicka makan roti ini dengan secepat mungkin. Begitu, Mah.”
“Ckckc... kamu itu takut terlambat ke sekolah apa kamu memang lapar? Hehee..” canda Mama.
“Selain takut terlambat sekolah, alasan lainnya yaaa.. Zicka juga lapar, Mah. Ha..ha..” Zicka tertawa terbahak-bahak sehingga roti yang belum selesai ia telan, ikut keluar bersama tawanya itu.
“Aduh Zicka, kamu itu jorok banget. Jangan bertingkah laku seperti anak kecil akh.” Mama gemas dengan tingkah laku Zicka.
“Heheee.. maaf, Mah. Oh iya Mah, Papa kemana yaa? Kok dari tadi gak keliatan?”
“Oh papa? Papa sudah berangkat ke kantor, sayang.”
“Lhoo... kenapa berangkatnya pagi-pagi sekali, Mah?”
“Kata Papa, ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Ya sudah, cepat kamu selesaikan sarapanmu. Sudah siang, nanti kamu benar-benar terlambat lhoo.”
“Siap komandan! Zicka berangkat dulu ya Mah.” Zicka mengambil tasnya lalu berjalan menuju teras rumah.
“Assalamu’alaikum, Mama.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ku mencintaimu.. lebih dari apapun.. meskipun tiada satu orang pun yang tahu..” nyanyi Zicka sambil menunggu taksi dengan santainya padahal jam selalu berjalan.
“Huftt... akhirnya.. Taksi..!” Zicka memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di depannya.
“Mau kemana, dik?” tanya sang pengemudi taksi.
“Ke SMA Nusa Indah, Pak. Cepat ya pak udah hampir jam 7 nih.” jawab Zicka.
“Iyaaa..... Oh, adik sekolah di SMA itu. Adik kelas berapa? Adik kenal gak, seorang siswa yang bernama Ricky?” tanya pengemudi taksi yang sepertinya kenal dengan seseorang yang bernama Ricky.
“Ricky? Ricky Johann Muhammad, Pak? Kalau Ricky yang itu saya kenal.”
“Ya yaaa, Ricky Johann Muhammad. Adik kenal dengan Ricky? Berarti adik itu temannya Ricky, ya?
“Ehmm.. bukan hanya teman saja, Pak. Ricky itu... Ricky itu... Ricky itu pacar saya, Pak. Hehee..” Aku Zicka sambil tersenyum tersipu malu.
“Pacar? waaah, berarti adik itu calon menantu saya. Saya senang punya menantu yang manis seperti adik. Saya jadi gak menyesal saat memperbolehkan Ricky buat pacaran. Ha..ha..”
Mendengar perkataan pengemudi taksi yang ternyata ayahnya Ricky itu, wajah Zicka langsung bersemu merah seperti tomat yang sedang masak. Zicka tidak menyangka sebelumnya kalau pengemudi taksi tersebut adalah ayahnya Ricky. Setelah dilihat-lihat, wajah lelaki yang kira-kira sudah berkepala empat itu memang mirip sekali dengan Ricky.
“Jadi Bapak ini orang tuanya Ricky?” tanya Zicka yang wajahnya masih bersemu merah menahan malu.
“Benar sekali, dik. Bapak ini ayahnya Ricky. Adik tidak menyesal pacaran dengan anak saya?”
“Kenapa saya harus menyesal, Pak?”
“Yaaaa... bapak ini kan hanyalah seorang pengemudi taksi biasa, dik.”
“Aduh, Bapak. Kenapa bapak berkata seperti itu? Saya tidak malu mempunyai pacar yang ayahnya seorang pengemudi taksi. Yang penting kan pekerjaan bapak ini halal jadi buat apa saya malu, Pak.” jawab Zicka dengan tegasnya.
“Ckckc.... memang hebat, Ricky itu. Dulu dia memohon kepada bapak agar bapak mengizinkan dia pacaran. Tadinya bapak tidak memperbolehkan, tapi Ricky memaksa bapak. Dia juga berjanji, akan mencari pacar yang bukan hanya cantik luarnya saja tetapi juga cantik hatinya . Ternyata benar ucapan Ricky.” puji bapak itu.
“Aduh, Pak.. jangan memuji saya seperti itu, saya kan hanya seorang anak perempuan biasa.” wajah Zicka semakin memerah.
“Wah, tidak terasa sudah sampai, dik.”
“Eh.. oh.. Iya.” Zicka mulai salah tingkah walau akhirnya dia dapat memperbaiki suasana.
“Berapa, Pak?” Zicka menanyakan harga yang harus dia bayar.
“Untuk pacar anak bapak, bapak beri gratis.”
“Wah, Bapak selain ramah juga baik hati. Terimakasih, ya Pak.”
***
“Hai, teman! Tahu tidak, tadi aku bertemu dengan bapaknya Ricky lho.” sapa Zicka setelah memasuki ruang kelasnya.
“Lalu apa hubungannya dengan kami? Kamu fikir, kami akan suka dengan cerita kamu itu” tanya seorang temannya yang bernama Vika.
“Benar sekali, kami sudah bosan dengar cerita-ceritamu yang tidak jelas itu” sahut yang lain.
“Kalian ini kenapa? Biasanya sikap kalian tidak seperti itu terhadapku?”
“Sudahlah, kamu tidak perlu tahu mengapa kami bersikap seperti ini kepadamu. Kalau kamu ingin tahu, sebaiknya kamu introspeksi diri.” ujar Keny yang terlihat marah.
“Aku bingung dengan kalian semua. Kalian itu…”
Belum selesai Zicka berbicara, tiba-tiba dia sudah diberi sebuah sapu oleh sang ketua kelas yang bernama Selky. Tanpa diduga sang ketua kelas mengira Zicka berpura-pura lupa terhadap tugasnya itu.
“Zicka, kamu hari ini kan piket! Jangan berpura-pura lupa! Ini sapunya!” Selky berucap dengan nada yang sangat tinggi.
“Aku tidak berpura-pura lupa, Ky. Aku tahu bahwa hari ini aku ada jadwal piket. Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan temanku.” katanya sambil mulai membersihkan kelas dari debu yang menempel.
“Teng..teng..teng..” bel masuk telah terdengar. Semua murid mulai memasuki kelasnya masing-masing dan duduk di kursinya dengan tertib.
“Selamat pagi.” Bu Raina, guru matematika Zicka menyapa semua murid sebelum melanjutkan materi pembelajarannya hari ini.
“Pagi, Bu.” sahut para murid.
“Aduh, kelas ini kenapa kotor sekali? Memang kalian tidak terganggu dengan kelas yang kotor seperti ini? Zicka! Kamu hari ini piket tidak? Jadwal piket kamu hari ini kan ?” ujar Bu Raina ketika melihat ada banyak sampah di sudut kelas Zicka.
“Sudah, Bu. Saya tadi sudah piket.” Aku Zicka.
“Belum, Bu. Zicka bohong.” kata seluruh murid kompak.
“Kalian semua itu kenapa? Jelas-jelas tadi kalian melihat aku menyapu ruang kelas ini.” Zicka yang merasa benar mulai membela diri.
“Cukup, Zicka! Kamu sudah berani membohongi Ibu. Padahal kamu itu murid kesayangan ibu, tapi ternyata Ibu salah menilaimu, kamu sudah menghilangkan kepercayaan ibu terhadapmu. Karena kamu telah membohongi ibu, ibu akan menghukum kamu membersihkan seluruh ruangan kelas nanti sepulang sekolah. Kamu mengerti, Zicka?” Ibu Raina terlihat marah atas kelakuan Zicka.
“Tapi, Bu. Tadi saya sudah piket. Benar..” bela Zicka.
“Kalau kamu sudah piket, kenapa teman-teman kamu bicara bahwa kamu belum piket? Sudah tidak usah banyak alasan.” Bu Raina mulai membuka buku matematika dan menuliskan pelajaran yang akan dipelajari hari ini.
Tak terasa waktu cepat sekali bergulir dan pelajaran matematika pun berganti dengan pelajaran bahasa inggris. Namun karena Pak Ade hari ini ada penataran maka jam pelajaran Pak Ade pun kosong dan para murid bersorak gembira menyambut kedatangan jam kosong tersebut.
“Pak Ade tidak masuk untuk mengajar, ya kawan?” tanya Vika pada Keny.
“Iya, sangat asyik kalau tidak ada guru yang mengajar, ya? Ha..ha..” jawab Keny dengan antusias.
Zicka yang sedih dan bertanya-tanya kenapa sikap teman-temannya itu berubah 180 derajat terhadapnya, menghampiri mereka berdua yang sedang asyik berdiskusi.
“Vika, Keny, aku ingin bertanya kepada kalian. Memang aku ada salah apa dengan kalian sehingga menyebabkan kalian mengubah sikap kalian terhadapku? Kalau memang aku seperti itu maafkanlah aku sobat, aku sangat tersiksa jika kalian tetap bersikap seperti ini kepadaku. Tolonglah beri tahu saya, salah saya itu dimana?” Zicka berbicara dengan suara terisak menahan tangis.
“Sudahlah, jangan menangis! Seperti anak kecil saja! Kan kami sudah beri tahu kamu, kamu harus introspeksi diri!” ujar Keny kesal dengan nada yang semakin tinggi.
“hiks..hiks..hiks.. Semua tolong perhatikan aku, hiks.. mengapa sikap kalian semua terhadapku beda 180 derajat, hiks.. kalian jahat! Aku tadi sudah piket, kenapa kalian mengkhianati aku. Mengatakan kepada Bu Raina bahwa aku belum piket, hiks.. aku jadi mendapat hukuman karena ulah kalian. Kalian semua jahat! Kalian semua jahat! Hiks.. hiks..” Zicka kecewa terhadap teman-temannya itu.
“Zicka! Kami melakukan ini semua demi kebaikan kamu! Memang, selama ini sikap kamu terhadap kami semua baik apa?” kata salah satu teman Zicka.
“Hiks..hiks..” Zicka hanya bisa menangis mendengar ucapan teman-temannya itu.
***
Bel istirahat telah terdengar, murid-murid meninggalkan kelasnya dan berjalan menuju kantin untuk menghilangkan penat usai pelajaran. Tapi Zicka masih diam di kelas dan dia pun tak henti-hentinya menangis.
“Salah aku apa? Hari ini aku sedih sekali.” ujarnya dalam hati.
“Ah, daripada aku diam sambil menangis di kelas ini, lebih baik aku pergi ke kelasnya Ricky dan menceritakan semua hal aneh ini padanya.” katanya sambil berjalan menuju kelasnya Ricky.
“Ricky, aku sedih sekali hari ini. Sikap teman-temanku terhadapku berubah. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Apa salahku, Ky? Hiks.. Oh, ya tadi aku bertemu dengan ayahmu yang pengemudi taksi itu. Ayahmu sangat ramah dan baik hati terhadapku, beda dengan sikap teman-temanku sekarang.” Zicka berkata cukup keras tetapi matanya masih berkaca-kaca menahan tangis.
“Zicka! Kamu kalau ada masalah saja baru ingat denganku! Aku benci denganmu! Ternyata, aku salah menilaimu! Aku sangat kecewa terhadapmu! Kamu juga berbicara tentang pekerjaan ayahku! Aku benci dengan ayahku yang hanya seorang pengemudi taksi! Pekerjaan ayahku itu memalukan! Tapi kenapa kamu mengatakan itu dengan sangat kerasnya! Bagaimana kalau ada orang yang mendengarnya! Aku malu dengan pekerjaan ayahku yang tak pantas itu! Aku kecewa terhadapmu! Sungguh aku kecewa terhadapmu!” Mendengar perkataan Zicka, Ricky lantas marah.
“Ricky…? Kenapa kamu tiba-tiba marah terhadapku? Kamu tidak boleh berkata seperti itu terhadap ayahmu. Pekerjaan ayahmu itu kan halal. Kenapa kamu harus malu? Maaf, kalau aku berbicara terlalu keras. Aku tak bermaksud untuk…” Suara Zicka yang tinggi semakin tak terdengar.
“Sudahlah, Zicka! Aku tak ingin mendengarkan alasanmu itu! Cukup…! Cukup…! Aku tak tahan bila bersamamu lagi! Mulai detik ini hubungan kita berakhir! Aku memohon agar kau tak menggangguku lagi! Mengerti, Zicka!” Setelah puas memarahi Zicka, Ricky pergi ke luar kelas dan membiarkan Zicka menangis seorang diri.
“Hiks…hiks…hiks…” Zicka memandang Ricky, kekasih yang sangat dicintainya itu dengan tatapan menyesal.
“Kenapa semuanya menjadi seperti ini…!” jeritnya.
***
Bel telah terdengar menandakan istirahat telah usai dan pelajaran pun kembali dilanjutkan. Tetapi karena kejadian yang menyedihkan tadi, Zicka tidak dapat berkonsentrasi belajar. Ia masih memikirkan kejadian-kejadian hari ini yang sangat menyakitkan hatinya. Pertama, temannya yang menjauhi dia. Kedua, Ricky yang tiba-tiba marah kepadanya dan memutuskan tali cinta yang telah dijaganya selama berbulan-bulan. Zicka merasa sangat kesepian sekarang. Ia masih bertanya-tanya kenapa semua orang menjauhinya? Tapi sampai sekarang dia belum mendapatkan jawaban yang pasti.
***
“Uh.. Kenapa hanya aku yang harus menerima hukuman membersihkan seluruh ruang kelas ini?” ujar Zicka sambil melihat keadaan ruang kelas itu.
“Sepertinya hukuman ini mudah untuk dilaksanakan. Ruangan ini tidak begitu kotor. Aku ingin selesaikan hukuman ini dengan segera. Pertama-tama aku harus mengambil alat-alat dulu di gudang.” Zicka berlari kecil menuju gudang.
“Teman, cepat kotori ruangan ini agar Zicka kesulitan untuk membersihkannya.” Vika memberi aba-aba.
Tanpa sepengetahuan Zicka, para murid perempuan termasuk kedua sahabatnya itu mencoba membuat ruangan yang akan dibersihkan Zicka menjadi sangat kotor. Mereka ingin melihat Zicka merasa kesulitan untuk membersihkan ruang itu.
“Aduh, berat sekali alat-alat ini. Hah! kok ruangan ini menjadi semakin kotor! Tadi sepertinya ruangan ini tidak sekotor sekarang. Siapa yang melakukannya?” Zicka sangat terkejut melihat ruang kelas yang menjadi semakin kotor sehingga ia kesulitan untuk membersihkannya.
“Hai, Zicka. Sedang bersih-bersih, ya. Kamu ingin tahu tidak? yang mengotori ruangan kelas ini adalah kami. Ha…ha…” Keny tertawa puas, merasa rencananya berhasil.
“Tapi kenapa?” Zicka tak percaya sahabatnya dapat berbuat seperti itu padanya.
“Karena kami membencimu! Ayo teman kita pulang, tinggalkan saja dia disini sendiri. Selamat mengerjakan hukuman, Zicka. Yang bersih, ya agar besok aku tidak piket lagi. Ha…ha…” Vika, Keny dan yang lainnya berbalik meninggalkan Zicka seorang diri.
“Kenapa hari ini banyak orang yang membenciku? Padahal hari-hari sebelumnya aku tak pernah punya musuh. Apa ada sikapku yang salah sehingga membuat mereka seperti ini?” Zicka mulai menangis tersedu.
“Zicka, sedang apa kamu disini? Kamu menangis?”
Tanpa sengaja, sewaktu Ricky hendak pulang dan berjalan menuju gerbang sekolah. Ia melihat Zicka di ruangan kelas yang sedang duduk termenung dan tangannya menutupi wajah sambil terisak sedih.
“Hiks…hiks… Mau apa kamu kesini, Ricky? Bukannya kita sudah tidak ada hubungan apa-apa? Pergi sana ! Tinggalkan aku sendiri! Hiks…hiks…”
“Memang, kita sudah tak punya hubungan apa-apa. Tapi apa salahnya jika aku khawatir denganmu?”
“Pergi, Ricky! Pergi! Aku benci denganmu! Aku benci dengan semua orang! Semua sama jahatnya di mataku! Aku muak! Aku benci dengan hari ini! Aku ingin hari ini tak pernah ada dalam kehidupanku! Pergi!” emosi Zicka memuncak.
“Ok! Jika itu inginmu! Aku akan pergi dari sini! Aku akan pergi dari kehidupanmu! Jangan pernah kamu mencariku lagi!” Ricky keluar dari kelas, menutup pintu, lalu menghilang setelah ia berjalan melewati gerbang sekolah.
“Hiks… maafkan aku, Ricky. Aku tak bermaksud membuatmu seperti itu.”
Cukup lama Zicka menangis dalam kesedihan dan kesendiriannya sehingga ia lupa akan hukumannya yang harus ia lalui itu.
“Oh, iya. Aku kan dihukum oleh Bu Raina, sampai lupa.” Zicka menghapus air matanya dengan tisu.
“Ayo, semangat!” Zicka yang merasa tidak semangat untuk mengerjakan hukuman, memberi semangat pada dirinya sendiri.
Setelah waktu bergulir cukup lama. Kurang lebih setengah jam, Zicka berhasil menyelesaikan hukumannya, lalu dengan senangnya ia kembali menuju kerumah. Sungguh hari yang sangat melelahkan baginya.
***
“Assalamu’alaikum.” Dengan suara yang terdengar melelahkan, Zicka memberi salam.
“Wa’alaikumsalam. Lho, kamu kenapa Zicka? Tak seperti biasanya.” Mama curiga.
“Aku tidak apa-apa kok, Ma. Hanya lelah sedikit.” Zicka menjawab pertanyaan Mamanya tanpa ekspresi sedikit pun lalu ia berjalan menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Zicka masih memikirkan semua kejadian menyedihkan tadi. Ia juga bertanya-tanya mengapa temannya membencinya. Ia selalu memikirkannya, namun ia belum mendapat jawaban yang pasti hingga ia tertidur.
Di alam tidurnya, ia bermimpi melihat Ricky yang hendak menyeberang jalan dan dari arah samping ia melihat ada truk yang melintas dengan kecepatan yang tinggi. Lalu…
“Tidak… Ricky! Ricky!” jeritnya tak terkendali.
“Zicka… Zicka… kamu kenapa? Kamu bermimpi seram?” Mama terkejut mendengar jeritan Zicka.
“Ah.. Oh.. Eh.. Alhamdulillah, hanya mimpi.” Zicka terjaga dari mimpi yang tak ia harapkan itu.
“Ting.. nong.. ting... nong..” tiba-tiba bel rumah berbunyi.
“Biar Mama yang membuka pintunya, sayang.”
Mama lalu pergi membukakan pintu sedangkan Zicka berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah agar terlihat segar.
“Zicka, ada seorang bapak yang mencarimu di ruang tamu. Sepertinya wajah bapak itu mirip sekali dengan Ricky. Apa mungkin beliau itu ayahnya Ricky?” Mama mamberi tahu Zicka.
“Ayahnya Ricky? Mungkin benar, Ma.” Ucap Zicka.
“Ayahnya Ricky ingin bertemu dengan aku? Ada apa, ya? Semoga tidak ada kejadian yang tidak aku inginkan.” Sambil berjalan menuju ruang tamu, Zicka bertanya-tanya dalam hati.
“Oh, Bapak. Ada apa, Pak? Kok bapak ke rumah saya dengan tiba-tiba.”
“Zicka… Zicka... Kamu harus ke rumah sakit sekarang. Ricky…Ricky…” Ayah Ricky berbicara dengan terputus-putus.
“Bapak, ada apa dengan Ricky?” Zicka terlihat cemas.
“Ricky…Ricky… mengalami kecelakaan saat hendak pulang ke rumah. Kondisinya sangat buruk. Ayo sekarang kita ke rumah sakit Bunda untuk melihat keadaannya.”
“Oh, ya. Baik, Pak!”
Dengan tergesa-gesa, mereka berlari dan masuk ke mobil lalu menuju rumah sakit Bunda untuk menjenguk dan melihat keadaan Ricky yang sebenarnya.
***
“Pak, kamar Ricky yang mana? Nomor berapa?” dengan panik Zicka menanyakan kamar Ricky kepada Ayah Ricky.
“Kamar Ricky nomor 103, dik. Ayo cepat kita kesana.”
“Ricky…!” Zicka membuka pintu kamar.
Zicka melihat tubuh Ricky berbaring tak berdaya di tempat tidur rumah sakit dan tubuh Ricky itu diselimuti sebuah kain putih sehingga wajahnya saja yang terlihat. Wajah Ricky rusak dan terdapat banyak luka yang serius. Melihat keadaan Ricky seperti itu, Zicka menghampirinya dengan wajah tidak percaya.
“Ricky, kamu kenapa bisa seperti ini?” tangis Zicka meledak.
“Maaf, bapak ini orangtuanya Ricky?” tanya dokter.
“Benar, dok. Saya orangtuanya Ricky.”
“Maafkan kami, pak. Kami sudah berusaha semampu kami tapi takdir berkata lain.”
“Tidak…! Ricky…! Jangan tinggalkan aku sendiri disini! Buka matamu, Ricky…! Buka…!” jerit Zicka yang tak percaya kalau kekasihnya itu telah tiada.
“Hiks…hiks… Kenapa kamu tega meninggalkan aku secepat ini? Hiks… Aku sangat mencintaimu, Ricky. Aku tak ingin berpisah denganmu. Aku menyesal telah membuatmu marah terhadapku tadi siang. Aku ingin meminta maaf padamu, tapi semua sudah terjadi. Kalau aku bisa mengubah waktu, akan aku ulang semua kejadian hari ini agar kau tidak meninggalkan aku sendiri tuk selamanya. Ricky! hiks… hiks...” Zicka menangis, menjerit seakan-akan dunia telah berakhir.
“Jep…” tiba-tiba saja lampu rumah sakit padam.
“Kenapa? Kok tiba-tiba lampunya padam?” Zicka terdiam dan terkejut ketika lampu padam.
“Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday… Happy birthday… Happy birthday to you…”
Setelah lampu menyala kembali terdengar sebuah nyanyian ulang tahun. Zicka yang masih bingung kemudian berbalik. Ternyata disana ada kedua sahabatnya dan Bu Raina yang sedang membawa kue ulang tahun sambil menyanyikan lagu.
“Zicka, selamat ulang tahun yang ke-17, ya. Semoga kamu tambah pintar dan tambah rajin sekolahnya. Maaf, tadi ibu memberi hukuman yang sangat berat padamu. Sebenarnya ibu tahu kamu itu sudah piket. Ibu hanya mengerjaimu saja. Maafkan ibu.” kata Bu Raina tulus.
“Zicka ku sayang, selamat ulang tahun. Maafkan kami juga, ya. Tadi kami sudah memarahimu sehingga membuat kamu menangis. Kami hanya ingin membuat ulang tahunmu yang ke-17 ini sangat berkesan. Jangan marah kepada kami, ya.” Vika memberi ucapan selamat kepada Zicka.
“Ya, ampun. Ternyata kalian hanya mengerjaiku? Kalian sangat keterlaluan. Aku sampai terkejut dan menangis sewaktu melihat kelakuan kalian terhadapku tadi.”
Zicka tertawa dan bersyukur ternyata mereka semua tidak benar-benar membencinya walaupun hingga saat ini ia masih terkejut. Beberapa detik kemudian…
“Hiks…hiks…hiks… Aku senang kalian tidak benar-benar membenciku, tapi Ricky… Ricky telah tiada! Aku tak percaya secepat itu dia meninggalkanku. Hiks…” tangis Zicka semakin keras.
“Zicka, maafkan kami. Kami turut berduka cita atas kepergian Ricky. Semoga Ricky tenang di alam sana .” Keny mencoba menenangkan Zicka.
“Sudahlah Zicka, ikhlaskan kepergian Ricky. Kamu jangan terlarut dalam kesedihan terus-menerus.” Vika memeluk Zicka.
“Tapi aku belum meminta maaf padanya. Sebenarnya aku tidak ingin berpisah darinya karena aku masih mencintainya. Walaupun sekarang kita sudah tak dapat bersama, tapi aku tetap menyayanginya sampai kapan pun.” Suara Zicka mulai melemah.
“Zicka, kamu harus tabah menghadapi cobaan ini. Ya, sudah… lebih baik sekarang kamu meminta maaf padanya walaupun Ricky tidak dapat mendengar kata maafmu itu.” Bu Raina juga ikut menenangkan Zicka.
Tapi begitu Zicka membalikan badannya. Ia melihat Ricky tak lagi berada di tempat tidur itu. Ricky menghilang. Saat itu juga ada sebuah tangan yang menutupi mata Zicka. Zicka terkejut.
“Siapa ini?”
Kemudian tangan itu dilepaskan. Mata Zicka yang tadinya tidak dapat melihat menjadi dapat melihat kembali. Zicka berbalik badan dan…
“Ricky? Kamu benar Ricky.”
“Hai, Zicka. Selamat ulang tahun, ya. Maafkan aku, aku telah membuat kamu khawatir. Aku ingin memberi kejutan padamu. Ini semua aku yang merencanakan. Mulai dari kamu bertemu dengan ayahku, kamu dihukum Bu Raina, kamu dibenci temanmu, aku yang memutuskanmu, sampai aku kecelakaan dan meninggal dunia. Ini semua aku yang merencanakan. Untung temanmu dan Bu Raina serta ayahku ingin membantuku. Akhirnya, berhasil juga aku mengejutkanmu. Ini kado dariku. Maaf, ya kalau rencanaku ini membuatmu sakit hati.” ternyata Ricky yang membuat semua rencana ini.
“Ricky! Kamu membuatku khawatir. Ternyata semua ini adalah rencana kamu. Aku benci kamu, Ky! Lebih baik kamu pergi sana !” Zicka marah karena merasa telah dibohongi.
“Benar, kamu benci denganku? Kamu mengharapkanku pergi? Apakah kamu tidak menyesal telah berkata seperti itu kepadaku? Apakah kamu tidak menginginkan aku lagi?” canda Ricky sambil tersenyum nakal.
“Ricky, kamu jangan menggodaku seperti itu.” Zicka tersenyum malu.
“Ha…ha…ha…” Semuanya tertawa terbahak-bahak.
*END*
Posting Komentar