Mimpi yang sama terus merasuki ku dihitamnya malam. “Bunda… aku kangen bunda.” Tak sadar air mata itu perlahan turun dengan lembutnya. Membasahi semua kepedihanku.
“Teng teng,” jam dinding pun berdetak.
“Hmm.. sudah berapa lama aku tertidur disini?” kataku sambil mengusap butiran air mata.
Aku berdiri menatap ruang kosong bercat coklat yang disudut ruangnya terdapat sebuah meja kayu minimalis dengan sepasang lilin menyala diatasnya. Aku mengambil lilin tersebut dan mengarahkannya ke jam dinding berukuran besar yang tergantung di sepertiga bagian tembok dekat jendela.
“Sudah satu jam ternyata aku terlelap disini,” dengan lilin ditangan yang sudah tidak menyala lagi, aku keluar dari ruang kosong itu dan berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahku yang terasa bengkak karena menangis.
Ya, ruang kosong itu sebenarnya adalah kamar bundaku. Dulu aku sering bermain disini bersama adik kecil ku, Yoona. Hingga sekarang, aku selalu menghabiskan waktu senggangku di ruang kosong ini. Entah kenapa ruang kosong ini menurutku sangat istimewa. Mungkin karena ruangan kosong ini adalah bekas kamar bundaku. Ya mungkin saja…..
***
Suatu pagi aku bercengkrama singkat dengan ayah di meja makan. “Yah, dua hari lagi bunda ulang tahun loh.” Mataku seperti bersinar setelah aku mengatakan ini.
“Ayah mau beri kado apa ke bunda? Hmm.. Bunda kan senang sekali dengan mawar putih yah. Ayah belikan bunda mawar putih saja. Eh tunggu.. Atau ayah belikan bunda sebuah kalung mutiara yang cantik. Hmm… pasti bunda sukaaaa deeeeh!!” Ideku membuat ulang tahun bunda berkesan semakin besar.
Tapi seperti biasa, ayah ku hanya berkata “Fanny, ulang tahun itu bukan untuk dirayakan, nak. Ulang tahun itu adalah salah satu cara untuk merefleksikan diri atas apa yang seseorang sudah lakukan saat umurnya belum bertambah. Lagi pula bundamu juga pasti tidak menginginkan kalau ulang tahunnya dirayakan. Mending ulang tahun itu disyukuri saja tidak usah dirayakan”
“Ih ayah, ulang tahun bunda itu perlu dirayakan juga. Merayakan bahwa sudah dua tahun bunda berhasil membahagiakan Fanny.” Aku menunduk.
***
“Kakak! kakak sedang apa? Kok menangis di kamar bunda?” Entah kapan Yoona sudah berada didekatku.
“Eh, Tidak kok. Kakak hanya merasa mengantuk saja jadi deh air mata keluar dengan sendirinya.hhe.” Aku mencoba mengelak.
“Oh, Yoona kira kakak menangis.” Katanya kemudian, sambil berlalu meninggalkan ruang kosong tersebut.
***
“Iya sayang. Ada apa?”
“Bunda, langit itu seperti apa sih?”
“Langit itu indah sayang. Sangat indah. Seperti kamu dan Yoona yang selalu istimewa di hati bunda.” Bunda tersenyum.
Saat itu aku membayangkan bahwa indahnya langit pasti seindah wajah dan senyuman bunda. Malah wajah dan senyuman bunda terasa dua kali lipat dari indahnya langit. Eh tidak dua, tapi berlipat-lipat indah deh dari langit.
“Bunda, Fanny sayang bunda.” Pelukku erat.
“Iya, bunda juga sayang Fanny. Sayang bunda itu melebihi langit ke kalian berdua dan juga ke ayah kalian.” Sekali lagi bunda tersenyum.
“Sudah yuk, sudah sore, sekarang waktunya kita pulang ke rumah. Nanti bunda bikin salad deh kesukaanmu itu.”
Lalu kami berdua berjalan menyusuri taman dan kembali ke mobil untuk dapat pulang ke rumah sebelum hari mulai gelap.
Wah bahagia sekali rasanya aku memiliki bunda terbaik sedunia. Kasih sayang tulusnya selalu tersalurkan ke kami setiap saat. Bunda tidak pernah mengeluh lelah dalam mengurusi kami. Tidak ada kata-kata amarah sedikitpun yang keluar dari mulut bunda. Kalau kami berbuat salah, bunda tidak akan main tangan tapi bunda mencoba menasehati kesalahan kami itu dan membuat kami berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut dilain waktu.
Aku merasa bahwa hidupku ini sangat sempurna. Bayangkan, aku mempunyai ayah dan bunda juga adik kecil ku yang sangat sayang kepadaku. “Yaa Allah, aku sangat bersyukur atas semua ini. Terimakasih telah memberikan aku, ayah, bunda serta adik yang hebat.”
***
Mobil kami berjalan santai meninggalkan taman yang aku kunjungi bersama bunda tadi. Jarak rumah kami dari taman tersebut tidak begitu jauh. Ya.. sekitar setengah jam lah dari rumah kami.
Ketika mobil kami melewati tikungan pertama. “Braaaaaakkkk!!!” Terdengar suara hantaman keras dari arah depan mobil.
Aku tak tahu apa yang menabrak mobil kami. Yang pasti suara tabrakan itu jelas terdengar di telingaku karena aku duduk didepan, disamping bunda. Aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi saat itu. Yang aku tahu, air mata menetes menahan sakit yang amat perih. Bayanganku seperti aku dan bunda sudah meninggal saja dalam kecelakaan ini.
***
“Fanny… Fanny.. kamu sudah sadar nak?” Ayah terlihat gembira saat aku bangun dari tidur panjang.
Saat hidung ku mencium bau obat yang menyengat, aku langsung tahu kalau sekarang aku sedang berada di rumah sakit.
“Ayah, bunda mana? Bunda tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa. Bunda mu sedang berada di kamar sebelah kamar mu nak, sedang tertidur pulas.”
“Alhamdulillah, syukurlah… Oh iya yah, kenapa kedua mata ku diperban?”
“Kemarin, kamu dan bunda kecelakaan. Mobil bunda ditabrak Truk yang sedang dalam kecepatan tinggi. Ayah sedang menonton tv dirumah mendapat telpon kabar buruk itu. Lalu, bertepatan dengan kecelakaan kamu itu, ada seorang donor berhati sangat mulia yang ingin memberikan kornea matanya ke kamu. Jadi kamu akhirnya bisa melihat, Fanny.” Jelas Ayah.
“Siapa yah?”
“Orang berhati mulia itu melarang ayah untuk mengatakannya kepada mu. Nanti suatu hari kamu juga akan tahu nak.”
Sudah sangat lama aku mendambakan memiliki mata yang sempurna seperti orang lain. Aku memang terlahir tidak bisa melihat. Aku buta sejak kecil. Dokter mengatakan butaku ini karena bunda menderita toxoplasma sewaktu aku di dalam kandungan. Tapi aku tidak akan menyalahkan bunda sedikit pun. Bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan semua ini kepada orang yang sangat berjasa dalam membawaku lahir kedunia dan akhirnya doa ku untuk bisa melihat terkabul. Aku punya mata baru sekarang! Ya Allah kebahagiaan ku semakin bertambah. Terimakasih wahai Pemilik Alam.
***
Entah sudah berapa minggu aku berada di dalam rumah sakit ini. Ingin rasanya aku cepat pergi dari sini. Aku tidak betah dengan aroma obat yang selalu mengganggu penciumanku.
“Fanny sekarang dokter akan membuka perban dimata kamu ya.” Salah seorang dokter dengan paras tinggi berkulit putih dengan kumis tipis menempel di atas bibirnya datang ketempat aku beristirahat.
“Sekarang dokter? Asik!” Sudah ku tunggu-tunggu saat yang sangat mendebarkan hatiku ini. Wah bagaimana rasanya ya dapat melihat langit disaat pagi maupun sore hari?
Tepat pada hari ini, akhirnya aku bisa melihat indahnya dunia. Terimakasih Yaa Allah….
***
Saat senja hampir menutup tabirnya, aku berjongkok menunduk ditempat pemakaman umum. “Bunda… kenapa bunda pergi tidak pamit ke Fanny? Kenapa bunda? Fanny sekarang sudah bisa melihat berkat bunda. Kenapa bunda pergi? Fanny ingin sekali melihat wajah bunda!” Jerit ku sambil terisak menahan perih yang menusuk tajam ke tubuhku.
Kemarin setelah aku diperbolehkan pulang ke rumah, ayah menceritakan semua kejadian buruk itu.
“Nak, sekarang kamu sudah sembuh dan kamu juga sudah bisa melihat. Kamu harus tahu kejadian yang sebenarnya terjadi.” Semua cerita sedih berawal dari situ.
Aku hanya duduk lunglai dengan air mata yang mengalir deras ke pipiku.
“Kenapa ayah tidak bilang ke aku? Kenapa ayah baru cerita sekarang??” Isak ku mendengarnya.
“Maafkan ayah, ayah hanya tidak mau membuat kamu sedih di masa penyembuhan kamu.”
Memang sebuah kehidupan itu seperti layaknya sebuah roda yang terus berputar. Dimana kita bisa berada diatas sedetik kemudian berada di dasar. Seperti kehidupanku ini. Disaat aku bisa melihat, bundaku, bundaku tersayang pergi meninggalkan aku untuk selamanya.
Tabrakan itu telah merenggut nyawa bundaku. Sebelum meninggal, bunda berpesan kepada ayah untuk mendonorkan kornea mata bunda untukku. Bunda berkata “Ayah, tolong donorkan kornea mata bunda untuk Fanny. Bunda sudah tidak kuat, sebentar lagi bunda akan menghadap Allah, ayah. Tapi sebelum bunda meninggal, bunda ingin membahagiakan Fanny walaupun nanti bunda sudah tidak bisa berada disisinya lagi. Tolong ayah kabulkan permintaan bunda yang terakhir ini dan tolong maafkan kesalahan bunda selama bunda hidup.”
Ayah menangis “Iya bunda, ayah maafkan semua kesalahan bunda. Terimakasih ayah telah memiliki istri setulus dan secantik bunda sayang. Terimakasih karena bunda telah mengurusi kami. Ayah sudah ikhlas, bunda. Ikhlas…”
Kemudian mata bunda semakin menutup.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…….”
***
Ya di ruang kosong inilah, aku sering membangunkan paksa bunda dari tidur lelapnya hanya untuk membujuk bunda untuk membuatkan salad kesukaanku. Wah aku kangen masa-masa itu, serius kawan! Dan sekarang yang tersisa hanyalah sepenggal cerita manis yang sangat pahit untuk dikenang.
“Bunda, tenanglah disana. Nanti ada saatnya kami semua bertemu dengan mu, bunda. Terimakasih bunda…. Fanny sayang bunda……….”
*END*
asslm, wr. salam kenal
wlkmslm....
salam kenal juga :)
makasii uda berkunjung ^^
hai teman, salam kenal dari putri, threelas.com, ini adalah kunjungan pertama kami.
@Putri Arisnawati : makasi uda menyempatkan untuk berkunjung :) klu ada kesempatan silahkan berkunjung lagi yaa ^^
Salam kenal ya...? Blognya udh di follow. Follow back ya? http://blogspektrum.blogspot.com
@Spektrum's Blog : terimakasih sudah follow my blog :) selamat berkunjung kembali ^^
Salam kenal sis, silahkan berkunjung ke blog ane.
Sis bisa berbagi cerita, puisi atau promo blog di blog ane..
Blog ane masih baru, jadilah yg pertama..
@Secangkir Kopi : makasi udah mampir :) iiaa saling share yaa kitaaa ^^
dpt cerita dari mana itu??
cerita menarik,dpt ide dari mana?
@WIDA : ide cerita ini tiba2 muncul sendiri kuq..hehe. lagi berusaha menulis cerpen neh.. masi belajar ^^ makasii buat kunjungan'a yaa :)